Upah Dari Kedua Belah Pihak:
Tidak jarang seorang makelar mensyaratkan keuntungan dari kedua belah pihak yang terkait, dari penjual dan juga dari pembeli. Perbuatan semacam ini secara prinsip syari’at tidak masalah, asalkan semuanya dilakukan dengan transparan dan jujur, tanpa ada manipulasi atau penipuan. Kepada penjual anda berterus terang bahwa Anda menginginkan keuntungan dalam jumlah yang jelas, demikian pula anda bersikap di hadapan calon pembeli.
مقاطع الحقوق عند الشروط
“Ketentuan hak terletak pada persyaratan yang telah disepakati.” Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Said bin Manshur.
Awas Makelar Kejam.
Ambisi mengeruk keuntungan besar sering kali menghanyutkan nalar dan iman makelar. Dihadapan pemilik barang ia mengesankan bahwa barang miliknya bernilai sangat rendah, namun dihadapan calon pembeli ia mengesankan bahwa barang tersebut bernilai selangit. Dengan cara ini ia dapat engeruk keuntungan segunung.
Tidak diragukan sikap ini adalah bentuk pengkhianatan nyata kepada penjual dan pembeli sekaligus. Betapa tidak, sejatinya makelar adalah wakil dari keduanya, dengan demikian, seharusnya ia berupaya agar orang yang mempercayainya mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin. Hendaknya ia memperlakukan orang lain bak memperlakukan dirinya sendiri. Andai ia menjual barang miliknya sendiri, niscaya ia berusaha mencari harga yang peling tinggi. Dan sebaliknya, bila ia membeli untuk dirinya sendiri, niscaya ia berupaya mencari harga yang paling murah.
)لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه(
“Tidaklah sempurna imanmu, hingga engkau cinta agar saudaramu mendapatkan seperti apa yang engkau dapatkan.” Muttafaqun ‘alaih.
Pantangan Makelar.
Dalam syari’at Islam, ada satu pantangan bagi para makelar. Pantangan tersebut ialah menjadi perantara penjualan barang milik orang kampung yang dijual di pasar kota. Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(لاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ) . قَالَ: فَقُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ: مَا قَوْلُهُ لاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ؟ قَالَ: لاَ يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا .
“Tidaklah dibenarkan bagi penduduk kota untuk menjualkan barang milik penduduk desa”. Aku (Thawus, yaitu murid Ibnu Abbas) bertanya kepada Ibnu Abbas: Apa yang dimaksud dengan sabda beliau : “penduduk kota menjualkan barang milik penduduk desa”? Beliau menjawab: “Yaitu tidak menjadi calo/makelar “. Muttafaqun ‘alaih
Pada riwayat lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan alasan pantangan ini dengan bersabda:
(لاَ يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ دَعُوا النَّاسَ يَرْزُقِ اللَّهُ بَعْضَهُمْ مِنْ بَعْض)رواه مسلم
“Janganlah penduduk kota menjualkan (menjadi calo penjualan) barang milik penduduk desa, biarkanlah sebagian masyarakat dikaruniai rizqi oleh Allah dari sebagian lainnya.” Riwayat Muslim.
Mungkin anda berkata : Mengapa praktek ini dilarang, padahal menguntungkan pemilik barang, sehingga mendapatkan harga yang pantas.
Ketahuilah saudaraku! bila anda renungkan lebih mendalam, niscaya anda dapatkan bahwa pada kenyataannya, penduduk kampung diuntungkan sekali dan dirugikan berkali-kali. Belum lagi perbuatan makelar ini merugikan masyarakat luas.
Biasanya barang dagangan penduduk kampung adalah barang-barang mentah. Dengan demikian, bila penduduk kota membeli bahan baku produksi dengan harga mahal, maka hasil produksinya dijual dengan harga yang mahal pula. Padahal kebanyakan penduduk kampung bersifat konsumtif, yaitu menjadi pembeli barang hasil olahan penduduk kota. Bahkan tidak jarang penduduk desa, membeli kembali hasil olahan barang yang telah ia jual kepada penduduk kota. Dengan demikian, tidak sepenuhnya benar bila dinyatakan bahwa percaloan pada kasus ini menguntungkan penduduk desa sebagai pemilik barang.
Disamping itu Islam lebih mendahulukan kepentingan masyarakat luas dibanding kepentingan segelintir orang. Apalagi bila ternyata keuntungan segelintir orang tersebut tidak sepenuhnya dapat ia rasakan, sebagaimana dijelaskan di atas.
Sumber:
https://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2012/01/09/makelar-halal-versus-makelar-haram/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar